Senin, 18 Juni 2012

Bagaimanapun Aku Membutuhkanmu

Share it Please

Di malam yang dingin aku berjalan, menyeret kedua kakiku perlahan. Ditemani riuh suara knalpot bising yang buat kepala semakin pening. Aku berjalan di antara ribuan khawatir, rindu, dan gemuruh kalut pada hati setiap pejalan kaki. Aku menerawang, menghimpit segala rasa yang tengah ada.

Jarum jam menusuk pada angka delapan. Aku menunggu seseorang. Orang yang tak asing, orang yang sudah lebih dari dua tahun menemani setiap sungging senyum dan haru air mataku. Katanya ia mau menungguku di tepian jalan, di mana belukar kendaraan tak pernah acuh dengan keadaan. Tadi pagi ia pun mengantarku pergi, dan sudah selayaknya ia menjemputku saat aku pulang kini. Aku rindu padanya, rindu lesung pipinya, walaupun hanya ada di sebelang pipi kanannya. Aku rindu tentang sebuah rasa asa saat bersamanya, yang dulu.

Sudah lebih dari sepuluh menit aku menunggu, berdiri terpaku dengan agak kelu. Aku coba hilangkan bosan yang mengancam. Player musik Handphone dan Headset kupasang dan melekat di kedua telingaku. Sejurus kemudian musik mengalun sendu, memori saat dahulu menyeruak ke dalam kalbu. Dua puluh menit dari jam delapan. Lalu lintas tak jua kunjung lengang. Polantas bekerja meniup-niup peluit seperti wasit di tengah jalan yang sempit.

Pukul delapan lebih dua puluh lima menit. Palyer musik dan headset sudah kulepaskan, dan aku masih menunggu di tepian jalan. Apakah ia akan hadir. Seseorang yang telah berjanji setia kepadaku, apakah ia melanggar janji kecil tadi pagi untuk menjemputku malam ini? Aku mulai khawatir.

Kira-kira dua tahun lalu kami dipertemukan di depan penghulu. Aku mantap hati yakin dengan ikatan suci ini. Meski tak sesempurna taman firdaus, tapi aku yakin ia mampu menjagaku. Karena aku pun hanya layaknya setangkai bunga mawar yang rentan oleh pengganggu. Kami masih berusia muda, tak jauh umurku dengan umurnya. Tapi sudah cinta mau dibilang apa, karena cinta gerakkan semua.

Dari kejauhan sorot lampu sepeda morot seperti menyorot tepat ke arahku. Aku menerka, mendongahkan sedikit kepala. Tapi sayangnya itu bukan dia. Aku bertambah khawatir.

Seminggu yang lalu kami terlibat pertikaian kecil. Katanya ia tak mau lagi mengantar dan menjemptku. Katanya ia muak dengan rutinitas seperti itu. Harus kuakui, panah baik nasib belum mengarah pada kami. Ia belum kunjung dapat “mencari sepiring nasi”, sehingga ia masih diam menjaga pagar rumah kami. aku memang belum terlalu mempersoalkannya, penghasilanku masih mampu belikan sekarung beras setiap hari, dan cukup untuk membeli lauk pauk dan pakan untuk burung piaraannya.

Aku tahu perasaannya. Aku tahu ia seperti burung yang ia selalu siuli setiap pagi. Terkurung dalam sunyi, dan hanya berharap diberi. Tapi aku mengerti, maka aku tak pernah ambil terlalu peduli. Seperti apa pun ia, bagaiman pun keadaannya, aku tetaplah membutuhkannya. Meski belum sampai bayi kami buay. Tapi kami selalu yakin Tuhan itu Maha Indah, sehingga skenario untuk kami pun pasti akan indah pula.

Setengah jam lebih dari angka delapan. Kini aku mulai pasrah. Aku merunduk sejenak, menatap sepasang sepatuku, menghela napas sejenak.

“Sayang, ayo pulang.”
Aku mengangkat dagu, oh tadi itu suamiku. Tak biasanya ia datang terlambat. Biasanya aku harus meminta maaf karena telah membuatnya lama menunggu. Kini ia malah semakin membuatku termangu. Kulingkarkan tangan di pinggangnya. Ia menoleh sebentar ke belakang, kemudian mengemudi kembali. Ia lelakiku. Seorang imam dalam keluarga kecil. Ya, keluarga kami masih kecil, tapi hati kami harus selalu dan tetap besar dilapang-lapangkan.

Bagaimanapun ia adalah pelindung. Melindungi disemua sisi, dalam gelap pengap atau gersang panas hari. Meskipun ia masih begini, tapi aku harus tetap begitu. Tetap dewasa. Karena ia laki-laki pagi bagiku. Ia bekerja untuk tetap membesarkan hatiku di tengah angkuhnya syahwat dunia.

Sayang. Bagaimanapun aku membutuhkanmu.

Akulah seorang istri. Seorang wanita penunggu senja, yang selalu setia menunggu engaku lelaki perkasa. Rindu engkau dengan zirah dan senjata. kau tetaplah yang tertinggi, kau tetaplah seorang imam, kau tetaplah kau. Arrijaalu qouamuna ‘alan Nisaa.

Dari aku, wanitamu. Untuk suamiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author