Jumat, 21 September 2012

Secangkir Kopi dengan Sendok Teh



secangkir kopi dengan sendok teh
saat halilintar menghujam badai
jiwa bergetar, tatapan landai

secangkir kopi dengan sendok teh
tentang dilema cinta, dilema hidup, dilema uang, dilema pilihan, dilema kepercayaan dan dilema kemunafikan.

secangkir kopi dengan sendok teh
mencoba berlayar di padang pasir
menunggangi unta di tengah samudera
melepaskan ikan di angkasa raya
menerbangkan burung di dalamnya samudera

secangkir kopi dengan sendok teh
icip kembali ditaruh kembali
masih risau dengan kehidupan, risau dengan keluarga, risau dengan nasib, dan risau dengan secangkir kopi dengan sendok teh

secangkir kopi dengan sendok teh
dilema dan risau semakin menyesakan dada
dan semakin kacau dengan acuhnya langit.atau mungkin aku yang mengacuhkannya..?!

secangkir kopi dengan sendok teh
ilema dan risau itu kini berubah menjadi takut
tentang malaikat, tentang azab, tentang sekarat, tentang iman, tentang akhirat.dan tentang semua yang menjadi tentang.

secangkir kopi dengan sendok teh
kini aku pun semakin bingung
dihadapanku secangkir kopi
namun sendok tak ubah nama menjadi sendok kopi

yang ku tahu ini bukan secangkit teh dengan sendok kopi.

tapi secangkir kopi dengan sendok teh.(yang membuatku bingung, risau, dilema dan takut)
Continue Reading...

Senin, 10 September 2012

Ayah, Kita Jalan Kaki Saja!



Cerita ini bermula ketika seorang pemuda yang sedang memandang langit. Entah mengapa banyak cerita yang dimulai ketika mata betemu pandang dengan awan, atau dengan mentari, dan terkadang dengan gelap langit malam. Sebuah pergulatan batin, konflik pribadi yang menuntut ketegasan sikap, mungkin hal tersebut paling sering menjadi plot sebuh cerita. Begitu pula dengan cerita ini.
***                                                                                               
Mata yang nanar masih lebar terbuka, pupil mengecil lantaran cahaya begitu tajam menembus retina. Aku, pemuda tanggung yang tak jelas sebagai apa dan punya guna apa. Masih terpekur.
“Selamat ya, akhirnya”, kata mereka sambil menyimpulkan senyum.

Dan aku masih terpekur. Tolol! Kini bulan penghujan, atau kita bilang saja ini semester genap. Aku terpelajar, ya, sangat terpelajar melebihi pelajar yang lain. Mereka menempuh pendidikan dasar 6 tahun. Aku juga. Mereka menempuh jenjang tengah pertama 3 tahun. Begitu pula aku. Mereka habiskan 3 tahun untuk tingkat menengah atas. Aku sama saja.

Namun aku beda! Aku seorang mahasiswa. Siswa yang jumawa dengan ke-maha-annya, sampai-sampai betah menghabiskan 11 semester di masa kuliahku. Mungkin kalian sedikit bergumam dan berkata: mahasiswa dungu! Aku tak peduli, karena kalian pun tak pernah peduli. Cukup tersenyum sedikit menundukan kepala, aku tetap merasa jumawa.
Continue Reading...

Minggu, 09 September 2012

Sebuah Kesimpulan



Kemarin aku berjalan melewati sebuah langit temaram. Meniti sebuah jalan setapak yang dari kejauhan tampak begitu suram. Tanpa hiasan bulan yang tergantung di langit, juga tanpa gemintang dengan kerlipan. Heningnya buat diksi sunyi menjadi sinonim untuk lukiskan pada malam yang hitam.

Kemarin lusanya ada yang mengantung, bergelayut, mengganggu di benak. Mengoyak pikiran dan mengacak setiap runutan edaran oksigen yang dipompakan jantung. Aku bergidik.

Lalu  kucoba susun setiap huruf demi huruf menjadi sebuah kata berbentuk tanya. Problema dalam cita cinta berdesir dalam setiap hela. Ada yang kembali mengganggu, seperti urutan kata ‘g’ dalam rangkaian kata ‘ganggu’ yang sepintas begitu menggangguku. Ah.
Continue Reading...

Senin, 27 Agustus 2012

Berharap Pada Hujan



Tanah kering merekah disiram panasnya sengatan matahari siang itu, pepohonan enggan bergoyang karena sang angin belum kunjung datang. Tinggallah seorang bocah lusuh dengan peluh yang tetesnya tak mampu buat suasana syahdu. Ditemani sebungkus air es untuk sejenak hilangkan cekikan di tenggorokan.

Lebaran masih lama, terlalu utopis untuk harapkan keajaiban datang seperti iklan di tv yang mempesona. Juga jangan harapkan menang lotre, karena Pak Ustadz peringati bahwa haram uang yang didapati. Bocah lusuh berjalan tenang, tujuannya jelas: hilangkan penat atau ringankan beban. Tiga minggu lagi bulan Ramadhan, teman sebaya dipengajian semua sumringah, hanya bibirnya saja yang tak ada senyum merekah.

***

Monolog menjadi kebiasaan sejak kemarin. Kata Hana, teman baiknya, Bocah Lusuh itu jadi agak gila. Kemarin pagi ia berujar sambil mengacung-acungkan tangan ke langit, “Wahai langit biru, kapankah engkau berubah kelabu..coba siramkan air cintamu padaku!”

Dan siang ini, di tengah derasnya siraman matahari yang menusuk kulit, ia berucap, “Mana lagi hujan datang? Sudah bosankah ia sehingga tak pulang-pulang? Aku datang tapi mengapa engkau diam?”
Continue Reading...

Followers

Follow The Author