Senin, 27 Agustus 2012

Berharap Pada Hujan

Share it Please


Tanah kering merekah disiram panasnya sengatan matahari siang itu, pepohonan enggan bergoyang karena sang angin belum kunjung datang. Tinggallah seorang bocah lusuh dengan peluh yang tetesnya tak mampu buat suasana syahdu. Ditemani sebungkus air es untuk sejenak hilangkan cekikan di tenggorokan.

Lebaran masih lama, terlalu utopis untuk harapkan keajaiban datang seperti iklan di tv yang mempesona. Juga jangan harapkan menang lotre, karena Pak Ustadz peringati bahwa haram uang yang didapati. Bocah lusuh berjalan tenang, tujuannya jelas: hilangkan penat atau ringankan beban. Tiga minggu lagi bulan Ramadhan, teman sebaya dipengajian semua sumringah, hanya bibirnya saja yang tak ada senyum merekah.

***

Monolog menjadi kebiasaan sejak kemarin. Kata Hana, teman baiknya, Bocah Lusuh itu jadi agak gila. Kemarin pagi ia berujar sambil mengacung-acungkan tangan ke langit, “Wahai langit biru, kapankah engkau berubah kelabu..coba siramkan air cintamu padaku!”

Dan siang ini, di tengah derasnya siraman matahari yang menusuk kulit, ia berucap, “Mana lagi hujan datang? Sudah bosankah ia sehingga tak pulang-pulang? Aku datang tapi mengapa engkau diam?”


Hana hanya bisa menggeleng, ulah teman karibnya yang bikin teman lain menjauh dari Bocah Lusuh itu. Hana kemarin sore coba berkata padanya, “Hai, bodoh! Itu ibu bapakmu sedang sakit, lalu mengapa kau juga ikut ‘sakit’. Gila!!”

***

Seminggu pasca monolog, Bocah Lusuh kini sudah mulai gila. Saban waktu matanya menerawang melihat angkasa jauh dan terbang, sambil memegang dagunya yang tak berjanggut, kadang mengerenyitkan dahi sambil diusap-usap, bahkan pernah ia berjalan capat sambil mengacung-acungkan jari ke langit.

Pak Ustadz bingung, sebab Bocah Lusuh pernah bertanya mengapa manusia dilahirkan, tapi ia tak menyimak tak mengacuhkan. Ibu bapaknya tak tahu menahu perihal laku gila anaknya, sebab yang mereka tahu sang anak tetap tak kurang bakti merawat rentanya mereka. Bagi Hana, anak perempuan ini, temannya itu semaki tak karuan tingkahnya. Ia hanya bisa menemani Bocah Lusuh yang saban hari menatap langit, mengacung-acungkan jari ke arah langit.

Sambil menghela nafas, Hana berucap dalam hatinya, “Bukan karena langit ia bicara, bukan karena alam ia meradang, bukan karena awan ia memandang. Tapi karena keadaan ia berdiam.”

***

Hari kedelapan ia masih saja tak kunjung ‘sehat’. Lingkar hitam matanya semakin menjadi, persis panda kurus kering kurang asupan gizi. Dua alisnya lebih sering bertemu, semakin sering pula ia meminta dan berdoa pada Yang Kuasa di setiap akhir ibadahnya.

Keadaan langit masih belum berubah, teriknya menyiram kalbu yang sesak dalam jiwa. Riak-riak awan masih belum bisa tutupi sengatnya, karena matahari masih terlalu sangar dengan panasnya. Tapi gagak tetap bisa menyalak galak, bisingnya bisa takutkan burung kecil yang sedang asik menari di bawah pohon kenari.
Langkahnya masih payah, ia masih berusaha menyeret kedua kakinya yang mulai lelah. Ke mana mata tertuju, kaki harus tetap melaju: Pasar!

***

Sudah dua minggu lebih emapat hari Hana uring-uringan. Karena kesal, ia coba berargumen dengan Bocah Lusuh itu.

“Lalu apa yang kau cari?” Kata Hana pelan.
“Bukan urusan! Ini tentang hidup dan bertahan dalam kehidupan!” Katanya singkat.

Muson timor lajunya lambat berlalu, tawa anak-anak sambil menaikkan layang-layang dengan kuyu. Bocah Lucuh masih suka mengacung-acungkan tangannya ke langit. Matanya masih nanar dengan segala rasa gahar.
Melewati rembulan yang berganti, kemudian panas kembali, tapi hujan tak jua kunjung tiba. Bocah Lusuh masing merasa nelangsa.

***

Bocah Lusuh pulang dari rantau, sudah dua hari ia tak pulang untuk bakti kepada kedua orang tuanya. Dua hari lagi bulan Ramadhan, pikiran si Bocah Lusuh makin uring-uringan. Kemudian dikecupnya kening ibunya, setelah itu memeluk ayahnya yang kian hari makin kurus saja.

“Ibu, hujun belum kunjung tiba. Mungkin esok” kata Bocah Lusuh sambil kembali cium kening ibunya.
“Ayah, kemarin aku beli payung. Tapi hujan turun jua tak turun” sambil membelai rambut sang ayah.

Ada air yang mengalir, begitu hangat, begitu halus membelai di antara hidung dan belah pipi. Diusapnya tangis itu, ditahan pula isaknya agar membuat orangtuanya menjadi semakin tersiksa. Begitu lama ia memandang kedua orangtuanya. Sampai tak tahan dengan isaknya yang membuat nafasnya tak beraturan, ia keluar rumah setengah berlari sambil mengusap air mata.

***

Satu hari sebelum Ramadhan, Hana sudah menyiapkan rupa-rupa kemabng untuk ‘nyekar’ ke makam ibunya. Ia pergi bersama bibi yang selama ini mengasuh dan menjadi harap dan tumpu. Saat melewati rumah Bocah Lusuh, ia berhenti sejenak sambil menghela nafas panjang dan berkata,

“Semoga hari ini hujan”

Si Bocah Lusuh diam di ambin depan rumahnya. Tak ada kopi, singkong rebus atau pisang goreng yang terhidang. Tangannya pun masih erat memeluk kedua kakinya yang tertekuk dengan lutut terbuka. Ia pandangi Hana yang barusan lewat di depan rumahnya. Tak ada sapa, senyum, atau sebatas lambaian tangan. Hanya diam.

Teriknya mentari semakin menjadi-jadi di siang itu. Kepala seperti bergolak, ubun-ubun pun sampai lelah berkeringat. Penjual limun mereguk untung. Karena ini hari terakhir sebelum esok jarus tahan haus di ganasnya siraman mentari.

Bocah Lusuh beranjak dari ambinnya. Setelah satu teguk diminum air putih di dapur dan pamit pada ayah ibunya. Ia kembai berjalan, memegang payung hitam di tengah teriknya siang. Ia sangat yakin hari ini akan turun hujan. Karena air matanya sudah terlalu kering untuk menangisi panasnya siang yang mengancam. Ia berjalan dengan menyeret pelan kedua kakinya. Matanya nanar menebar ke segala penjuru, kemudian sambil mengacungkan jari ke langit ia tengadahkan dagunya sambil berkata,

“Jika tak ada air yang turun dari atas sana, maka pupus sudah harap seorang anak untuk membahagiakan kedua orangtuanya”

***

Pukul satu lebih dua puluh menit. Jarum panjang masih berdetak konstan mengitari angka-angka. Sinar mentari mulai ditutup kelabu. Mega menjadi cumolonimbus yang seperti kumpulan kapas besar kelabu melayang di langit. Angin syahdu bertiup menuju barat dengan lembut. Burung-burung kecil terbang penuhi raya angkasa, ada pula ayam jantan yang berkokok, entah apa maksud kokokannya itu.

Sang Bocah Lusuh agak sumringah, ada senyum simpul di bibir keringnya. Tujuannya mantap: Pasar! Sebelas menit berjalan menyeret kedua kakinya. Sampai pula dihiruk pikuk tempat orang benrniaga. Pukul satu lebih tiga puluh lima menit, butir pertama hasil kondensasi jatuh ke bumi. Tepat jatuh di pipi kanan si Bocah Lusuh itu.

“Air.. aku tidak sedang menagis. Ini air. Hujan!” katanya sambil menunjuk pada langit.

Senangnya tak terperi. Ada harap yang membuncah. Tapi kawatir juga ada, jangan-jangan ini hanya khayalan. Ia jongkok di tepian jalan sambil berdoa hujan kan turun dengan lebatnya. Ia pejamkan mata, sambil berkata dalam hatinya,

“Ibu, hari ini semoga turun hujan.. biar basah dahaga kita”

***

Kilat menyambar, disusul guntur yang pekakkan telinga, Bocah Lusuh loncat ke jalan dengan tertawa. Ia menatap langit, membiarkan sensasi butiran air langit jatuh tepat di mukanya tanpa penghalang. Tak dibukanya payung yang ia bawa.

Bocah Lusuh berjalan ke kerumunan orang, jajakan jasa menyewakan payung kepada setiap orang. Pelanggan pertama dapat, seorang pelajar SMA yang ingin segera pulang. Kemudian berturut-turut sampai berkali-kali ia bolak-balik menyebrang jalan mengantar pelanggan dengan payung hitam.

Deras hujan mengguyur bumi, lebih dari dua setengah jam berlalu. Lumayan rupiah yang dikantongkan, dilapisi plastik bekas es limun agar tak kebasahan.  Selepas itu, Bocah Lusuh pulang. Setelah membeli obat untuk ayah dan ibunya, beras, sampai gula kopi dan singkong dibawa ke rumah.

Sampai di rumah ia bersihkan diri, akhirnya ia pun bisa mandi dengan tersenyum. Tiga minggu kemarin ia begitu membenci air. Kini ia sangat mencintainya. Kemudian ia berjalan menghampiri ayah ibunya, dicium kening sang ibu, “Air turun ibu” sambil tersenyum. Dan ibunya hanya bisa mengangguk sambil liangkan air matanya.

Kemudian didudukkan ayahnya di ambin depan rumhanya,

“Ayah.. Hujan turun. Kata Pak Ustadz, ini momen paling berharga dalam ijabahnya doa. Tiga minggu aku menunggu. Aku berdoa tadi selepas sembahyang Asar. Semoga ayah dan ibu lekas sembuh.. semoga. Tuhan tak mungkin melanggar janjinya.”

***

“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author