Sabtu, 25 Agustus 2012

Cerita Kini, Kemarin, dan Esok Hari

Share it Please


Masih adakah yang tidak suka dengan cerita? Entah itu bercerita, atau mendengarkan cerita. Atau apaun asal masih sinonim dari cerita; dongeng, kisah, dan lain sebagainya. Tampaknya pertanyaan tersebut terlalu retoris. Sadar tidak sadar kita beraktivitas tak akan pernah lepas dari bercerita.

Ada seorang anak yang sedang curhat dengan temannya, bercerita mengenai kucingnya yang mati. Ada sekumpulan ibu-ibu sedang riuh dengan gosip mengenai artis dan skandalnya. Ada presenter berita yang sedang mewartakan bahwa ada kebakaran yang semalam melanda. Ada seorang ustadz yang ceramah dengan kisah para nabi. Dan ada seorang tersangka yang sedang membual di depan jaksa dan hakim.
Lalu, masihkah kita akan berkata. “Maaf, saya tidak suka cerita!’—Omong kosong!


Dengan cerita, para sanguinis meraja. Entah dengan banyolannya yang menjadikan dirinya seorang komedian, atau sekadar pembual di malam hari saat berkumpul riang. Cerita membuat seorang anak dapat tertidur lelap, atau setidaknya mengantuk karena bosan.

Kemudian, Tuhan bercerita dengan firmannya melalui kitab suci. Tujuannya sederhana, agar manusia dapat mengambil contoh atau memetik buah hikmah dari cerita tersebut. Maklum saja, watak manusia memang sombong, tak mau digurui dengan perintah. Namun diberi cerita, malah hilang begitu saja tak ada hikmah.
Sekarang cerita susah dibedakan mana yang nyata mana yang tidak. Pembual masuk ranah jurnalistik. Maka jadilah berita yang tersebar menjadi busuk karena bumbu penyedap buatan yang sangat amat berlebihan. Padahal hanya terpelesat, tapi malah dibuat seolah jatuh tertimpa tangga, masuk selokan yang penuh lumpur. Gila!

Paling enak jadi sastrawan, komikus, dramawan, atau apapun yang berhubungan dengan itu. Jelas-jelas itu semua tak nyata, non-fiksi, rekaan, bohongan, tapi tetap saja masyarakat suka. Jadi secara tidak langsung masyarakat mengatakan, boleh ‘berbohong’ asalkan itu dilakukan oleh para sastrawan, komikus, dramawan, atau apapun yang berhubungan dengan itu. Jadi, ‘berbohong’ dengan jujurnya mereka itu tidaklah mengapa. Anda setuju?

Bercerita itu membuat cerdas, setidaknya kau bisa berbicara lancar tanpa gagap, terutama bererita mengenai dirimu. Lihat saja, laku ‘pencuri berdasi’ di negeri ini, dengan luwesnya berkata, “Gratifikasi itu saya tidak menerima. Saya cuma menerima hibah dan sedekah!” sambil mengantongkan smartphonenya dan masuk ke dalam mobil mewah hasil dari ‘hibah’ dan ‘sedekah’ dari rakyat.

Oke, kini kita sangat sulit untuk membedakan mana sinetron dengan acara berita. Para protagonis makin dielu-elukan, entah karena pasah wajah melas karena pura-pura dibully atau minta simpati karena tidak terjerak kasus korupsi. Lebih aneh yang antagonis, semua samar. Karena para antagonis tidak berwajah garang. Tapi korupsi habislan uang milyaran. Lalu yang tritagonis asik saja menonton, dan bangga dengan label ‘silet majority’. Ini lebih gila!

Kemudian kita menjadi bertanya-tanya, mau dijejali cerita apalagi kita esok hari. Gosip artis murahan yang sedang creambath di salon, kartun penuh kekerasan dan cabul, acara berita yang mirip telenovela, cerita pencitraan yang penuh hoax dan konspirasi, atau novel yang dijadikan headline media masa?
Tolong jejali kami dengan cerita yang tulus. Jangan kaburkan yang mana fiksi dan yang mana non-fiksi. Jangan campurkan cerita sastra dengan berita jurnalistika. Itu saja! Karena kita semua suka dengan cerita—yang mendidik dan jujur tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author