Senin, 10 September 2012

Ayah, Kita Jalan Kaki Saja!

Share it Please


Cerita ini bermula ketika seorang pemuda yang sedang memandang langit. Entah mengapa banyak cerita yang dimulai ketika mata betemu pandang dengan awan, atau dengan mentari, dan terkadang dengan gelap langit malam. Sebuah pergulatan batin, konflik pribadi yang menuntut ketegasan sikap, mungkin hal tersebut paling sering menjadi plot sebuh cerita. Begitu pula dengan cerita ini.
***                                                                                               
Mata yang nanar masih lebar terbuka, pupil mengecil lantaran cahaya begitu tajam menembus retina. Aku, pemuda tanggung yang tak jelas sebagai apa dan punya guna apa. Masih terpekur.
“Selamat ya, akhirnya”, kata mereka sambil menyimpulkan senyum.

Dan aku masih terpekur. Tolol! Kini bulan penghujan, atau kita bilang saja ini semester genap. Aku terpelajar, ya, sangat terpelajar melebihi pelajar yang lain. Mereka menempuh pendidikan dasar 6 tahun. Aku juga. Mereka menempuh jenjang tengah pertama 3 tahun. Begitu pula aku. Mereka habiskan 3 tahun untuk tingkat menengah atas. Aku sama saja.

Namun aku beda! Aku seorang mahasiswa. Siswa yang jumawa dengan ke-maha-annya, sampai-sampai betah menghabiskan 11 semester di masa kuliahku. Mungkin kalian sedikit bergumam dan berkata: mahasiswa dungu! Aku tak peduli, karena kalian pun tak pernah peduli. Cukup tersenyum sedikit menundukan kepala, aku tetap merasa jumawa.

 ***

Jika membahagiakan orang tua bisa ditulis sebagai prestasi di CV, maka aku akan menuliskannya. Sayangnya aku belum sekali pun merasa dapat membahagiakan mereka. Ini momentum, mungkin dengan ini aku bisa membuat segaris senyum di bibir mereka, atau setidaknya dahi mereka dapat mereda tak lagi berkerut.

Aku kini tak lagi disebut sebagai anak yang bau kencur, kini aku bisa membeli parfum sendiri! Kesan anak ingusan pun sudah tak ada, aku bisa beli obat flu sendiri! Dan yang terpenting aku bukan anak kemarin sore. Bayangkan, 11 semester telah kukecap dengan ikhlas! Sudah berapa sore yang aku lewati?

Pada intinya, aku ingin mengatakan: Saksikanlah! Aku, anak dewasa yang wangi dan tak sedang kena flu..

***
“Sudah semester berapa sekarang?”
“Sebelas!”, katanya singkat.

Mapala—Mahasiswa Paling Lama—ini, memang agak tebal mukanya. Terlalu betah mendekam dalam dunia semu idealisme mahasiswa, berkutat pada ragam macam teori. Tapi hidup tetaplah harus bergulir, karena jarum jam kehidupan tak pernah kehabisan baterainya. Satu hal yang membuatnya betah tinggal berlama-lama di kampus, ia menjadi begitu tenar, semua mahasiswa atau bisa dibilang sivitas kampus mengenalnya. Betapa tidak? 11 semester!!

Tapi bukan itu, semua karena keluarga!
Tapi sekali-kali ia merasa sumuk juga menjadi tetua di kampus. Beragam teror mengancam dan menikam nurani, bertubi-tubi menghujam sanubari.
“Kapan nih, nikah?”
“Masih betah aje di kampus, skripsi gimana kabar tuh?”
Bila mendengar kalimat itu, tubuhnya serasa sedang disayat dan dimutilasi oleh ‘Riyan sang penjagal’.

***

Senja kadang kala disebut magrib, dengan jingga warna yang tak menyilaukan mata. Riak-riak air danau ini takkan pernah bisa buyarkan lamunan tentang masa depan. Aku yang masih terpekur—ah, selalu terpekur, dengan sengau memandang langit.

Esok hari di gedung itu kan sesak dengan orang yang memakai toga. Lahan dan lapangan disulap menjadi tempat penambat kendaraan roda empat. Penjaja bunga makin sumringah dengan mawar dan karangan bunganya. Lalu para supir dengan gelak lagaknya terlihat sedikit gagah walau tanpa dasi kupu-kupu di lehernya.

“Ayah, besok saya memakai toga..saya diwisuda”, kataku
“Ya, Ayah kan datang, tapi tidak dengan ibumu. Mungkin dengan adik-adikmu”, katanya
 Sesudah itu air mataku berlinang. Butiran yang mengkristal itu seperti membuat jalur sungai di pipiku. Persis seperti hidupku, kelak-keloknya dan rasa asinnya, dan tiba-tiba jatuh lega...

***

Aspal memang hitam, tapi langit tak selamanya legam. Karena bayangan pada indera belum tentu kan terjadi pada kenyataannya. Air keruh dalam gelas takkan pernah tahu apa rasanya sebelum kita mencicipinnya, entah manis atau asin, entah itu larutan garam atau larutan gula.

Dalam remang memang selalu saja ada kunang-kunang. Begitu pula dengan fajar yang menyingsing, selalu saja bisa terbit setelah gelapnya hari.

Karena mentari tak pernah lelah untuk selalu berjanji; aku, yang selalu dan tetap ada walau kau meragu!

Sukma jiwa pun terbersit untuk berhenti sejenak, merenungi nestapa dan nelangsa. Tapi tak boleh kata kufur hinggap menyapa. Tuhan tahu, kita ini aktor terbaik yang bisa menjalani semua skenario indah yang sudah dituliskan (dalam lauhul mahfuz).

***

Malam harinya ia tidur mengepal telpon genggam, berharap telpon genggam itu bergetar. Tapi sampai sepertiga malam belum juga ada dering dan getar yang terasa. Sampai tiba seperti biasa ia bangun untuk mengadu pada yang kuasa.

“Aku percaya akan janji-Mu..”

Pagi harinya ia menelpon sang ayah, menanyakan apakah ia sudi hadir untuk melihat anaknya mengenakan toga.

“Ayah  hadir. Bersama kedua adikmu. Ibumu pun turut dalam doa”
Kemeja putih, parfum 5 ribua-an non-alkohol, sepatu hitam pinjaman, serta ikat pinggang warisan. Sedikit bercermin sekalian menata helai rambut pada tempatnya. Tak kalah gagah, ia tetap jumawa!

***

Pagi itu aku yang menjemput ayah. Sama seperti dulu, saat ia hadir di perpisahan SMA. Tapi tetap ada yang berbeda, ya, ayah benar. Ibu turut selalu dalam doa. Setidaknya aku masih bisa tersenyum, karena wajah ibu terlukis di dua muka anak permpuannya—adik-adikku.

Saat magrib kemarin aku memang menyuruh ayah untuk menunggu di terminal, biarlah aku yang menjemput mereka. Aku khawatir mereka malah nyasar dan tak sampai di kampusku, maklum saja ayah mulai pikun seiring memutihnya rambut di kepala.

Adikku masih sama seperti dulu. Cuma sekarang ia lebih terlihat sopan dengan kerudung panjang yang dikenakannya. Dan yang membuatku semakin senang, ternyata tak Cuma satu, tapi dua adikku seperti itu. Setidaknya mereka berdua tak mengecewakan ibu.

***

Mereka sampai pula di gedung itu. Gedung yang riuh dengan segala macam ceria dan gembira. Penjual bunga menjajakan dengan ramah. Seorang anak kecil menjual es teh masih sambil mengelap ingusnya.

Ia masuk bersama ayah dan adik-adiknya yang tercinta. Memang bukan kelas VIP bangku yang diduduki mereka. Paling belakang, hampir tak terilhat, seorang bapak tua dengan dua orang gadis remaja yang mengapitnya. Sedangkan si sulung sedang kalut karena campur aduknya suka duka.
Ia kini sarjana, ya, seorang sarjana. Meskipun harus lewati 11 semester untuk dapatkannya. Tak ada blitz dari SLR, tak ada riuh tawa dan gelaknya. Seorang tua, dua gadis belia, dan mahasiswa kadaluarsa yang sedang khidmat memandang riak danau yang tenang.

“Nak, maaf. Ayah tak bisa mengantarmu pulang dengan mobil seperti yang lain”
“Tak apa ayah, kita jalan kaki saja!”

Sang ayah tersenyum bangga, dipeluknya si sulung dan tak terasa ada yang basah dipipi keriputnya. Adik-adiknya menatap haru, tatapannya jauh ke depan. Tak ada cemas, yang ada harapn yang terhampar luas di matanya. Sambil mendekat, dirangkunya oleh mereka kedua perkasa yang bekerja keras untuk mereka.

“Ah, adik-adiku. Sudah tiba masamu!”
***

Ini aku, dengan segala lakuku
Tentang segala pilihanku
Tentang rona dalam guratan takdir
Aku yang merasakan
Entah itu manis, asin, ataupun masam
Karena aku
Tak perlu menggerutu dalam pilu
Karena aku
Sedanmu takkan buat ubah haru
Dari lakon takdir kuterima
Sebuah guratan indah nan mempesona

tulisan ini juga pernah di publish di islamedia.web.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author