Minggu, 01 Juli 2012

Untuk Diriku Sendiri

Share it Please


Suatu kali matahari bersinar terik. Tetesan peluh mengalir sedikit demi sedikit melewati dahi, alis, pipi, dan kemudian jatuh ke bumi. Panasnya memang tak seberapa, memang tak mampu membuat telor menjadi setengah matang. Tapi tetap saja, peluh masih juga keluar meski raga tak bergerak banyak. Tapi teriknya matahari pun tak selalu menyiksa, biasanya ada semilir angin halus yang mengelap dahi, alis, dan pipi dari peluh yang jatuh.
***
Suatu saat kita pernah hampir terjatuh, bahkan pernah tersungkur dalam. Perlahan-lahan merangkak menggapai asa, berharap bisa mendaki lubang dalam yang terjang. Setelah berhasil sampai di permukaan biasanya kita kembali berjalan, tapi sayangnya kita terkadang lebih sering menyeret kaki dengan dada membusung dan kepala menengadah menantang langit kuasa.
Ada lagi di suatu masa, saat air berhenti mengalir. Kemudian kita menunggu petuah langit agar menurunkan rejekinya, agar asa kembali tumbuh berkecambah. Masih saja terlupa bahwa rumput menjadi tempat bertanya, tapi sayangnya rumput lebih sering bergoyang dihujam angin. Atau kita lupa bahwa Tuhan selalu memberi yang tidak kita pinta, sementara kita meminta pada benda yang tak memberikan apa-apa.
***
Pada memori hidup manusia, keadaan berputar linear. Berulang suatu peristiwa dalam perbedaan masa. Tapi yang buruk tetap terjadi, sedangkan yang mengesankan jarang sekali berulang. Kata pepatah, buah tak akan jatuh dari pohonnya. Tapi sayangnya, iman lebih berharga dari pengalaman, dan itu tak bisa dicangkok untuk menghasilkan buah yang sama dari sebuah pohon kepribadian. Ada saat di mana roda berputar, namun stagnan karena berbagai keadaan. Kemudian kita hanya bisa menatap sambil berharap angin bisa gerakkan roda: menunggu keajaiban.
Kemudian kita mulai menyalahkan iblis karena menggoda hawa. Romantis surgawi dalam utopis setiap makna dunia. Dipertuan, diperhamba, diperbabukan, dipaksa pada suatu bidang yang sebatas wacana perut dan di bawahnya saja.
***
Lalu, jenis manusia apakah kita? Setengah hewan vertebratakah, atau manusia setengah dewa yang segala ingin harus menjadi ada?
Pada suatu waktu kita meminta pada kehendak empunya bumi dan langit. Di saat ayam belum dibangunkan malaikat, maka cucur air mata lebih berharga daripada peluh kita. Sejenak renung dalam pada sepertiga malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author