Selasa, 29 Mei 2012

Bulan kelima: Saat Bulan Purnama Merekah Sempurna

Share it Please


Sembilan belas tahun yang lalu aku tak sempat mengingat segala peristiwa yang terjadi, bukan tak bisa, namun aku belum diizinkan pada waktu itu. Karena aku tak ingat, maka aku takkan memaksa untuk mengingatnya, atau meminum berbagai jenis vitamin perangsang ingatan—untuk meningatnya. Aku hanya ingat saat ini.
Kristal air jatuh hasil dari kondensasi tadi siang, dilepas perlahan ditemaram malam yang tenang. Tak berkilauan karena purnama redup riap terhalang awan yang juga tak kelihatan. Ada sesuatu, ada yag meratap, ada yang menyelinap dari sanubari hati sampai buncah di haribaan. Seorang anak muda lusuh berharap luka terhapuskan oleh hujan.

Ke mana saja merpati jantan pergi? Mungkin pergi menerjang badai, atau giat berlatih mengalahkan alap-alap, atau mungkin asik bercumbu liar dengan pasangan jalangnya. Jangan berharap ada bunyi lonceng penanda waktu sudah malam, mrereka semua sudah lelap. Jangan beharap ada tungku perapian yang hangat, sudah dari lusa bocor besar berlubang di atap.
Sejurus kemudian jejaka itu merasa tua renta. Ingin merasa bayi tapi terlalu naif karena sudah tak doyan susu (karena lebih doyan ‘menyusu’). Mau dibilang jantan lebih elok dengan kata ganti jalang—meski ia bukan Chairil!
Ia memang sering menggunakan baju ‘pak domba’, ikal putih pucat warnanya. Namun bila sempat kata itu ada, maka tanggallah tinggal taring gigi saja. Di kala senja suaranya parau seperti gagak lelah, memaksa kelabu dengan bulu meski senja tak haru.
Apakah aku merpati nakal, pencuri baju ‘pak domba’, atau gagak yang lelah? Sembilan belas berbilang tahun, aku mengingat diriku kini. Tampias segala cita asa dengan lumur dosa, cinta.
Untuk diriku sendiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author