Tanah kering merekah disiram panasnya sengatan matahari siang itu,
pepohonan enggan bergoyang karena sang angin belum kunjung datang. Tinggallah
seorang bocah lusuh dengan peluh yang tetesnya tak mampu buat suasana syahdu.
Ditemani sebungkus air es untuk sejenak hilangkan cekikan di tenggorokan.
Lebaran masih lama, terlalu utopis untuk harapkan keajaiban datang seperti
iklan di tv yang mempesona. Juga jangan harapkan menang lotre, karena Pak
Ustadz peringati bahwa haram uang yang didapati. Bocah lusuh berjalan tenang,
tujuannya jelas: hilangkan penat atau ringankan beban. Tiga minggu lagi bulan
Ramadhan, teman sebaya dipengajian semua sumringah, hanya bibirnya saja yang
tak ada senyum merekah.
***
Monolog menjadi kebiasaan sejak kemarin. Kata Hana, teman baiknya, Bocah
Lusuh itu jadi agak gila. Kemarin pagi ia berujar sambil mengacung-acungkan
tangan ke langit, “Wahai langit biru, kapankah engkau berubah kelabu..coba
siramkan air cintamu padaku!”
Dan siang ini, di tengah derasnya siraman matahari yang menusuk kulit, ia
berucap, “Mana lagi hujan datang? Sudah bosankah ia sehingga tak pulang-pulang?
Aku datang tapi mengapa engkau diam?”