Masih adakah yang tidak suka dengan cerita? Entah itu bercerita, atau
mendengarkan cerita. Atau apaun asal masih sinonim dari cerita; dongeng, kisah,
dan lain sebagainya. Tampaknya pertanyaan tersebut terlalu retoris. Sadar tidak
sadar kita beraktivitas tak akan pernah lepas dari bercerita.
Ada seorang anak yang sedang curhat dengan temannya, bercerita mengenai
kucingnya yang mati. Ada sekumpulan ibu-ibu sedang riuh dengan gosip mengenai
artis dan skandalnya. Ada presenter berita yang sedang mewartakan bahwa ada
kebakaran yang semalam melanda. Ada seorang ustadz yang ceramah dengan kisah
para nabi. Dan ada seorang tersangka yang sedang membual di depan jaksa dan
hakim.
Lalu, masihkah kita akan berkata. “Maaf, saya tidak suka cerita!’—Omong
kosong!
Dengan cerita, para sanguinis meraja. Entah dengan banyolannya yang
menjadikan dirinya seorang komedian, atau sekadar pembual di malam hari saat
berkumpul riang. Cerita membuat seorang anak dapat tertidur lelap, atau
setidaknya mengantuk karena bosan.
Kemudian, Tuhan bercerita dengan firmannya melalui kitab suci. Tujuannya
sederhana, agar manusia dapat mengambil contoh atau memetik buah hikmah dari
cerita tersebut. Maklum saja, watak manusia memang sombong, tak mau digurui
dengan perintah. Namun diberi cerita, malah hilang begitu saja tak ada hikmah.
Sekarang cerita susah dibedakan mana yang nyata mana yang tidak. Pembual
masuk ranah jurnalistik. Maka jadilah berita yang tersebar menjadi busuk karena
bumbu penyedap buatan yang sangat amat berlebihan. Padahal hanya terpelesat,
tapi malah dibuat seolah jatuh tertimpa tangga, masuk selokan yang penuh
lumpur. Gila!
Paling enak jadi sastrawan, komikus, dramawan, atau apapun yang berhubungan
dengan itu. Jelas-jelas itu semua tak nyata, non-fiksi, rekaan, bohongan, tapi
tetap saja masyarakat suka. Jadi secara tidak langsung masyarakat mengatakan,
boleh ‘berbohong’ asalkan itu dilakukan oleh para sastrawan, komikus, dramawan,
atau apapun yang berhubungan dengan itu. Jadi, ‘berbohong’ dengan jujurnya
mereka itu tidaklah mengapa. Anda setuju?
Bercerita itu membuat cerdas, setidaknya kau bisa berbicara lancar tanpa
gagap, terutama bererita mengenai dirimu. Lihat saja, laku ‘pencuri berdasi’ di
negeri ini, dengan luwesnya berkata, “Gratifikasi itu saya tidak menerima. Saya
cuma menerima hibah dan sedekah!” sambil mengantongkan smartphonenya dan masuk
ke dalam mobil mewah hasil dari ‘hibah’ dan ‘sedekah’ dari rakyat.
Oke, kini kita sangat sulit untuk membedakan mana sinetron dengan acara
berita. Para protagonis makin dielu-elukan, entah karena pasah wajah melas
karena pura-pura dibully atau minta simpati karena tidak terjerak kasus
korupsi. Lebih aneh yang antagonis, semua samar. Karena para antagonis tidak
berwajah garang. Tapi korupsi habislan uang milyaran. Lalu yang tritagonis asik
saja menonton, dan bangga dengan label ‘silet majority’. Ini lebih gila!
Kemudian kita menjadi bertanya-tanya, mau dijejali cerita apalagi kita esok
hari. Gosip artis murahan yang sedang creambath di salon, kartun penuh
kekerasan dan cabul, acara berita yang mirip telenovela, cerita pencitraan yang
penuh hoax dan konspirasi, atau novel yang dijadikan headline media masa?
Tolong jejali kami dengan cerita yang tulus. Jangan kaburkan yang mana
fiksi dan yang mana non-fiksi. Jangan campurkan cerita sastra dengan berita
jurnalistika. Itu saja! Karena kita semua suka dengan cerita—yang mendidik dan
jujur tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar