Tanah kering merekah disiram panasnya sengatan matahari siang itu,
pepohonan enggan bergoyang karena sang angin belum kunjung datang. Tinggallah
seorang bocah lusuh dengan peluh yang tetesnya tak mampu buat suasana syahdu.
Ditemani sebungkus air es untuk sejenak hilangkan cekikan di tenggorokan.
Lebaran masih lama, terlalu utopis untuk harapkan keajaiban datang seperti
iklan di tv yang mempesona. Juga jangan harapkan menang lotre, karena Pak
Ustadz peringati bahwa haram uang yang didapati. Bocah lusuh berjalan tenang,
tujuannya jelas: hilangkan penat atau ringankan beban. Tiga minggu lagi bulan
Ramadhan, teman sebaya dipengajian semua sumringah, hanya bibirnya saja yang
tak ada senyum merekah.
***
Monolog menjadi kebiasaan sejak kemarin. Kata Hana, teman baiknya, Bocah
Lusuh itu jadi agak gila. Kemarin pagi ia berujar sambil mengacung-acungkan
tangan ke langit, “Wahai langit biru, kapankah engkau berubah kelabu..coba
siramkan air cintamu padaku!”
Dan siang ini, di tengah derasnya siraman matahari yang menusuk kulit, ia
berucap, “Mana lagi hujan datang? Sudah bosankah ia sehingga tak pulang-pulang?
Aku datang tapi mengapa engkau diam?”
Hana hanya bisa menggeleng, ulah teman karibnya yang bikin teman lain
menjauh dari Bocah Lusuh itu. Hana kemarin sore coba berkata padanya, “Hai,
bodoh! Itu ibu bapakmu sedang sakit, lalu mengapa kau juga ikut ‘sakit’.
Gila!!”
***
Seminggu pasca monolog, Bocah Lusuh kini sudah mulai gila. Saban waktu
matanya menerawang melihat angkasa jauh dan terbang, sambil memegang dagunya
yang tak berjanggut, kadang mengerenyitkan dahi sambil diusap-usap, bahkan
pernah ia berjalan capat sambil mengacung-acungkan jari ke langit.
Pak Ustadz bingung, sebab Bocah Lusuh pernah bertanya mengapa manusia
dilahirkan, tapi ia tak menyimak tak mengacuhkan. Ibu bapaknya tak tahu menahu
perihal laku gila anaknya, sebab yang mereka tahu sang anak tetap tak kurang
bakti merawat rentanya mereka. Bagi Hana, anak perempuan ini, temannya itu
semaki tak karuan tingkahnya. Ia hanya bisa menemani Bocah Lusuh yang saban
hari menatap langit, mengacung-acungkan jari ke arah langit.
Sambil menghela nafas, Hana berucap dalam hatinya, “Bukan karena langit ia
bicara, bukan karena alam ia meradang, bukan karena awan ia memandang. Tapi
karena keadaan ia berdiam.”
***
Hari kedelapan ia masih saja tak kunjung ‘sehat’. Lingkar hitam matanya
semakin menjadi, persis panda kurus kering kurang asupan gizi. Dua alisnya
lebih sering bertemu, semakin sering pula ia meminta dan berdoa pada Yang Kuasa
di setiap akhir ibadahnya.
Keadaan langit masih belum berubah, teriknya menyiram kalbu yang sesak
dalam jiwa. Riak-riak awan masih belum bisa tutupi sengatnya, karena matahari
masih terlalu sangar dengan panasnya. Tapi gagak tetap bisa menyalak galak,
bisingnya bisa takutkan burung kecil yang sedang asik menari di bawah pohon
kenari.
Langkahnya masih payah, ia masih berusaha menyeret kedua kakinya yang mulai
lelah. Ke mana mata tertuju, kaki harus tetap melaju: Pasar!
***
Sudah dua minggu lebih emapat hari Hana uring-uringan. Karena kesal, ia
coba berargumen dengan Bocah Lusuh itu.
“Lalu apa yang kau cari?” Kata Hana pelan.
“Bukan urusan! Ini tentang hidup dan bertahan dalam kehidupan!” Katanya
singkat.
Muson timor lajunya lambat berlalu, tawa anak-anak sambil menaikkan
layang-layang dengan kuyu. Bocah Lucuh masih suka mengacung-acungkan tangannya
ke langit. Matanya masih nanar dengan segala rasa gahar.
Melewati rembulan yang berganti, kemudian panas kembali, tapi hujan tak jua
kunjung tiba. Bocah Lusuh masing merasa nelangsa.
***
Bocah Lusuh pulang dari rantau, sudah dua hari ia tak pulang untuk bakti
kepada kedua orang tuanya. Dua hari lagi bulan Ramadhan, pikiran si Bocah Lusuh
makin uring-uringan. Kemudian dikecupnya kening ibunya, setelah itu memeluk
ayahnya yang kian hari makin kurus saja.
“Ibu, hujun belum kunjung tiba. Mungkin esok” kata Bocah Lusuh sambil
kembali cium kening ibunya.
“Ayah, kemarin aku beli payung. Tapi hujan turun jua tak turun” sambil
membelai rambut sang ayah.
Ada air yang mengalir, begitu hangat, begitu halus membelai di antara
hidung dan belah pipi. Diusapnya tangis itu, ditahan pula isaknya agar membuat
orangtuanya menjadi semakin tersiksa. Begitu lama ia memandang kedua
orangtuanya. Sampai tak tahan dengan isaknya yang membuat nafasnya tak
beraturan, ia keluar rumah setengah berlari sambil mengusap air mata.
***
Satu hari sebelum Ramadhan, Hana sudah menyiapkan rupa-rupa kemabng untuk ‘nyekar’
ke makam ibunya. Ia pergi bersama bibi yang selama ini mengasuh dan menjadi
harap dan tumpu. Saat melewati rumah Bocah Lusuh, ia berhenti sejenak sambil
menghela nafas panjang dan berkata,
“Semoga hari ini hujan”
Si Bocah Lusuh diam di ambin depan rumahnya. Tak ada kopi, singkong rebus
atau pisang goreng yang terhidang. Tangannya pun masih erat memeluk kedua
kakinya yang tertekuk dengan lutut terbuka. Ia pandangi Hana yang barusan lewat
di depan rumahnya. Tak ada sapa, senyum, atau sebatas lambaian tangan. Hanya diam.
Teriknya mentari semakin menjadi-jadi di siang itu. Kepala seperti
bergolak, ubun-ubun pun sampai lelah berkeringat. Penjual limun mereguk untung.
Karena ini hari terakhir sebelum esok jarus tahan haus di ganasnya siraman
mentari.
Bocah Lusuh beranjak dari ambinnya. Setelah satu teguk diminum air putih di
dapur dan pamit pada ayah ibunya. Ia kembai berjalan, memegang payung hitam di
tengah teriknya siang. Ia sangat yakin hari ini akan turun hujan. Karena air
matanya sudah terlalu kering untuk menangisi panasnya siang yang mengancam. Ia berjalan
dengan menyeret pelan kedua kakinya. Matanya nanar menebar ke segala penjuru,
kemudian sambil mengacungkan jari ke langit ia tengadahkan dagunya sambil
berkata,
“Jika tak ada air yang turun dari atas sana, maka pupus sudah harap seorang
anak untuk membahagiakan kedua orangtuanya”
***
Pukul satu lebih dua puluh menit. Jarum panjang masih berdetak konstan
mengitari angka-angka. Sinar mentari mulai ditutup kelabu. Mega menjadi
cumolonimbus yang seperti kumpulan kapas besar kelabu melayang di langit. Angin
syahdu bertiup menuju barat dengan lembut. Burung-burung kecil terbang penuhi
raya angkasa, ada pula ayam jantan yang berkokok, entah apa maksud kokokannya
itu.
Sang Bocah Lusuh agak sumringah, ada senyum simpul di bibir keringnya. Tujuannya
mantap: Pasar! Sebelas menit berjalan menyeret kedua kakinya. Sampai pula
dihiruk pikuk tempat orang benrniaga. Pukul satu lebih tiga puluh lima menit,
butir pertama hasil kondensasi jatuh ke bumi. Tepat jatuh di pipi kanan si
Bocah Lusuh itu.
“Air.. aku tidak sedang menagis. Ini air. Hujan!” katanya sambil menunjuk
pada langit.
Senangnya tak terperi. Ada harap yang membuncah. Tapi kawatir juga ada,
jangan-jangan ini hanya khayalan. Ia jongkok di tepian jalan sambil berdoa
hujan kan turun dengan lebatnya. Ia pejamkan mata, sambil berkata dalam
hatinya,
“Ibu, hari ini semoga turun hujan.. biar basah dahaga kita”
***
Kilat menyambar, disusul guntur yang pekakkan telinga, Bocah Lusuh loncat
ke jalan dengan tertawa. Ia menatap langit, membiarkan sensasi butiran air
langit jatuh tepat di mukanya tanpa penghalang. Tak dibukanya payung yang ia
bawa.
Bocah Lusuh berjalan ke kerumunan orang, jajakan jasa menyewakan payung
kepada setiap orang. Pelanggan pertama dapat, seorang pelajar SMA yang ingin
segera pulang. Kemudian berturut-turut sampai berkali-kali ia bolak-balik
menyebrang jalan mengantar pelanggan dengan payung hitam.
Deras hujan mengguyur bumi, lebih dari dua setengah jam berlalu. Lumayan rupiah
yang dikantongkan, dilapisi plastik bekas es limun agar tak kebasahan. Selepas itu, Bocah Lusuh pulang. Setelah membeli
obat untuk ayah dan ibunya, beras, sampai gula kopi dan singkong dibawa ke
rumah.
Sampai di rumah ia bersihkan diri, akhirnya ia pun bisa mandi dengan
tersenyum. Tiga minggu kemarin ia begitu membenci air. Kini ia sangat
mencintainya. Kemudian ia berjalan menghampiri ayah ibunya, dicium kening sang
ibu, “Air turun ibu” sambil tersenyum. Dan ibunya hanya bisa mengangguk sambil
liangkan air matanya.
Kemudian didudukkan ayahnya di ambin depan rumhanya,
“Ayah.. Hujan turun. Kata Pak Ustadz, ini momen paling berharga dalam
ijabahnya doa. Tiga minggu aku menunggu. Aku berdoa tadi selepas sembahyang
Asar. Semoga ayah dan ibu lekas sembuh.. semoga. Tuhan tak mungkin melanggar
janjinya.”
***
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar