Rabu, 07 Desember 2011

Udin Merantau

Share it Please


Kini akan kuceritakan kepadamu tentang kawanku, karena ia pemalu maka aku takkan memberitahukan kepadamu tentang nama asli kawanku ini. Kita sepakati saja untuk memanggilnya ‘Udin’. Kukira kau pasti sepakat denganku. Satu hal lagi, jangan kau ceritakan kepada yang lain, karena Udin sangat pemalu. Apakah kau mau berjanji? Sudahlah, ikuti saja apa mauku. Aku tahu kau sudah tak sabar mendengar ceritaku.
***
Haru biru menyelimuti Kabupaten Purworejo, tepatnya di Kecamatan Gebang, di sebuah rumah yang cukup sederhana namun terlihat asri dari beragai sisi. Udin masih kaget dengan kejadian kemarin, kejadian yang membuat matanya semalaman enggan terpejam. Udin masih termangu memandangi ayam jagonya, hatinya masygul, bimbang, namun ada pula rasa senang. Ia menangkap ayam jagonya, dielusn-elusnya leher dan jengger jago itu. Sambil berbisik ia berkata pada Si Jago, “Kelak kau pun akan merantau!”.


Tak seperti biasanya, Udin memasak air kali ini, bukan untuk minum apa lagi untuk mencabuti bulu Si Jago, tapi untuk mandi. Padahal Udin biasa mandi di sungai, tapi kini spesial. Sabun batangan bergambar artis cantik ia gunakan kini, agar lebih bersih dan wangi, tak lupa ia pun menyikat gigi. Setelah selesai membersihkan diri, Udin langsung nangkring di depan cermin kamarnya.
“Gagah tenan!!” kata udin sambil menyisir rambutnya
Kemeja kotak-kotak hijau, kancing dibuka dua, celana jeans biru muda, Udin memang terlihat ‘agak’ gagah sekarang. Rambut klimis mirip presiden Indonesia. Dengan langkah agak ragu namun dimantap-mantapkan, Udin menuju ruang tengah. Dilhatnya ibu sedang melamun memandang jendela, hari ini ibu pun tak biasanya ada di rumah, ibu tak sedang membantu bapak di sawah, hari ini spesial untuk anak perjakanya..

“Ibu, Kulo nyuwun donga pangestunipun, Bu. kulo sakmenika badhe tindak Jakarta[1]” Udin berkata sambil mencium kaki ibunya.
                 
            “Iyo le, sing ngati-ngati nang kono[2]” kata Sang Ibu sambil mencium kening Udin.

Udin tak sampai berderai air mata, ia buru-buru mengusap air mata yang sepat membasahi pelupuk matanya. Setelah berpamitan dan meminta restu, ia melangkah meninggalkan rumah.

                “Le, kowe ora nunggu bapak kondur ndisik, le?”[3]
                “Mboten, Bu. Kulo kuwantos ketinggalan kereta”[4]

Sambil menahan tangis, Udin terus melangkah dengan langkahnya yang rapuh. Dalam hatinya ia berkata, “Pak, anak perjakamu ini mau ke Jakarta, mau merantau dan memperbaiki keadaan keluarga kita!”

Udin melangkah cepat menuju angkutan yang akan mengangkutnya ke Stasiun Kutoarjo. Diangkutan Udin teringat Si Jago, adiknya yang tak sempat ia pamit kepadanya, ibunya, bapaknya, kampunya, bau embunnya, dan sinar mataharinya.

Sampailah ia di stasiun, hari itu matahari telah tenggelam dalam, Udin menaiki kereta saat gelap mulai menyapa.  Ia duduk termangu, ia memegang ranselnya dengan ragu-ragu, dibuka ranselnya kemudian ditutup kembali, begitu berulang-ulang. Tanpa sadar ia mengambil map dalam ranselnya, dibukanya map itu, diambilnya lembaran yang diterimanya seminggu lalu. Ia pandangi lembaran itu. Sambil bergumam ia berkata, “Fakultas Kesehatan Masyarakat, Ilmu Gizi. Ahh, setidaknya aku mungkin lulus dari sana akan lebih bergizi, atau paling tidak adikku gizinya membaik....”.

Mungkin Udin bukan tipe orang melankolis yang pandai tersentuh dan mudah membuat puisi dikala masygul, tapi kini Udin lain, spesial, Udin mengambil secarik kertas dan pulpen. Dengan khidmat ia menuliskan beberapa bait syair:

“teruntuk ibu: aku akan baik-baik saja di ibu kota.. karena aku tahu, kasih ibuku akan selalu ada walau aku di kota.
untuk ayah: tak perlu lara, apalagi muram dengan durja. Akan kutinju kerasnya hidup, layaknya kau memaculi ladang kita yang keras..
yang tercinta adikku: seberapapun kau merengek, aku takkan kembali. Sebelum aku sarjana, sebelum engkau dapat diakui dunia
Itu janjiku...”

Sejam rasanya seperti setahun, Udin merasa kini ia sudah menjadi profesor, karena perjalanan memakan waktu sepuluh jam yang seperti sepuluh tahun. Udin lelap dalam bunga tidurnya, lelap dalam spektrum harap dan cinta, bermimpilah. Tak terasa bunga tidur menghilangkan lelahnya, saat ayam berkokok keras mengancam pagi, namun tanpaknya kokok ayam kalah ganas dengan suara pedagang di pagi itu. Udin terbangun dari tidurnya.
               
           “Ah, aku telah sampai. Aku merantau!”

Tujuan Udin hanya satu, kampus tercinta. Sebuah universitas negeri di pinggiran ibu kota. Dengan perhitungan matematis dan fisika yang matang, akhirnya Udin memutuskan naik taksi menuju kampusnya. Di dalam mobil, Udin kembali memegang seraya memandang lembaran itu.
             
          “Fakultas Kesehatan Masyarakat, Ilmu Gizi.. yaa!” dalam hatinya mantap.

Udin terus memandang jendela kaca, bukan, bukan kaca mobilnya yang ia pandangi, namun objek di luar kaca itu. ‘apa benar ibu kota itu lebih jahat daripada ibu tiri?’ udin menggumam. Ia sangat percaya bahwa Jakarta adalah rumah kedua orang Jawa. Karena ia meyakini bahwa SBY pun sukses merantau di ibu kota, bahkan bisa sampai menjadi presiden.

“Selamat Datang di Kota Depok” Udin membacanya seperti mengeja.
“Mas, saya mau turun di UI”
“Owalah, tadi saya lupa masuknya, de. Nanti saya turunin di depan aja ya, kamu tinggal nyemberang jalan aja nanti” Ujar supir taksi.

Udin turun, tangannya masih menggenggam lembaran itu. Ramainya jalan, hilir mudiknya kendaraan, serta riuhnya manusia berjejalan tak dihiraukannya. Tujuannya tetap, menuju kampus tercinta. Perlahan ia menyeberang jalan, karena pemalunya ia enggan bertanya. Ia hanya berkata dalam hati, “Intuisi, intuisi, gunakan hati..kau pasti tau, Tuhan pasti akan menunjukkanku”.

Ia melihat gedung tinggi, banyak orang-orang yang bergaya mahasiswa berseliweran ke sana-ke mari. Ia mengikuti intusinya, tetap melangkah penuh doa. Sampai ia bertemu dengan manusia berpakaian rapi memakai topi bertuliskan ‘SECURITY’.
                
                “Pak, boleh tanya. Kalau mau daftar ulang di gedung apa ya?”
                “Wah, masnya salah. Harusnya di kampus yang di kelapa dua mas?”
                “Loh?? Oh gitu ya? Makasih, Pak”

Udin sekarang jongkok, mencoba berpikir dan mengingat, entah mengapa ia selalu ingat bila berjongkok, mungkin saking seringnya Udin belajar dan membaca di kamar mandi. Sesaat kemudian, Udin kembali lagi bertanya kepada satpam itu.
               
                “Pak, kalau gedung Balairung itu di mana ya?”
                “Masnya emang mahasiswa mana?”
Udin melihat kembali lembaran itu dan membacanya.
                “Fakultas Kesehatan Masyarakat Ilmu Gizi Universitas Indonesia, Pak.”
                “Yah, mas. Masnya salah lagi. Ini Universitas Gunadarma, bukan UI”
                “Lah, Uinya di mana, Pak. Saya kira ini UI”
                “Masnya jalan lewat sana, nyebrang rel.. nah, itu UI mas!”

Sambil tersenyum kuda, Udin pamitan dan berterimakasih kepada satpam itu. Dengan tetap memegang lembaran itu, Udin berjalan mantap, bak prajurit yang sedang diawasi komandannya. Udin kaget bukan kepalang, ia mencoba menutup mulutnya namun tetap tak bisa. Ia masih memandang keadaan sekitar.
                
               “Aaahhh, bau ilmu, bau kesejahteraan, bau mahasiswa, bau rantau!”

Kemudian ia berjongkok memandangi keadaan, ia lebih dapat mengahafal dalam keadaan begini. Ia ingin merekam semua yang ada. Ia teringat dengan ayah, ibu, serta adiknya. Ia tergesa-gesa membuka tasnya, ia mencari hapenya. Kemudian ia mencoba menelpon.
                 
               “Aduh, pulsanya énte’” kata Udin mengeluh

Ia kemudian bangkit dan beranjak, bermodalkan intuisinya yang tak terlalu tajam. Ia mngambil kesimpulan bahwa bangunan yang ada di seberang jalan itu adalah Balairung. Saat menyeberang ia melihat baliho besar bertuliskan ‘Selamat Datang Mahsasiwa Baru, Selamat Datang di Kampus Perjuangan”. Mata Udin berkaca-kaca membacanya.
Dalam bingungnya, Udin berjalan menuju Balairung. Ia meihat seseorang yang diantar oleh ibunya menggunakan mobil, atau gadis yang membuat ia mengucek matanya berkali-kali. Dari kejauhan tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara, intusinya mengatakan ia harus mencarinya. Ia berjalan mencari sumber suara itu.

‘Kompor, Kompor, Kompor....” sayup-sayup terdengar kata itu. Udin akhirnya menemukan sumber suara itu. Kemdian—lagi-lagi, Udin jongkok mengingat sesuatu.
                
              “Ah, yaa.. KOMPOR!!” Udin berteriak sambil beranjak.

Ia mendekati kumpulan mahasiswa yang berteriak dengan pengeras suara sambil berkata ‘kompor’ kemudian berkata, “Komunitas Mahasiswa Purworejo”
Ternyata kompor adalah penyingkatan dari Komunitas Mahasiswa Purworejo, Udin disambut baik oleh seniornya. Sambil berbisik kepada senior yang baru dikenalnya, Udin berkata, “Mas, aku pinjam hapenya dong, mau telpon orang rumah”

Akhirnya Udin dapat pinjaman hape, ia menelpon, namun tak ada yang mengangkat. Dengan penuh intuisi, akhirnya Udin memutuskan untuk mengirim sms saja.
                 
      “Bu, pak, dik, kulo sampun wonten Jakarta. Alhamdulillah kulo sehat, keluarga wonten griyo sehat? Kulo badhe benahi gizi Indonesia. Nyuwun dongane nggih. Kulo MERANTAU”[5]

***

Itulah kisah kawanku, sebut saja namanya Udin. Maaf teman, kau jangan penasaran ingin mengetahui siapa nama aslinya, karena aku telah berjanji kepada kawanku untuk tidak memberitahunya. Jangan lupa teman, kau berjanji untuk tidak meberitahukan kisah ini pada orang lain kan?


[1] “Ibu, saya minta restu ibu, saya mau pergi ke Jakarta”
[2] “Iya nak, hati-hati disana”
[3] “Nak, kamu tidak menunggu bapak pulang dulu”
[4]Tidak, Bu. Aku takut ketinggalan kereta.
[5] “Bu, Pak dik. Saya sudah sampai di Jakarta. Alhadulilah sehat, keluarga sehat? Saya akan memperbaiki gizi Indonesia. Mohon doanya. Saya MERANTAU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author