Kemarin aku
berjalan melewati sebuah langit temaram. Meniti sebuah jalan setapak yang dari
kejauhan tampak begitu suram. Tanpa hiasan bulan yang tergantung di langit,
juga tanpa gemintang dengan kerlipan. Heningnya buat diksi sunyi menjadi
sinonim untuk lukiskan pada malam yang hitam.
Kemarin lusanya
ada yang mengantung, bergelayut, mengganggu di benak. Mengoyak pikiran dan
mengacak setiap runutan edaran oksigen yang dipompakan jantung. Aku bergidik.
Lalu kucoba susun setiap huruf demi huruf menjadi
sebuah kata berbentuk tanya. Problema dalam cita cinta berdesir dalam setiap
hela. Ada yang kembali mengganggu, seperti urutan kata ‘g’ dalam rangkaian kata
‘ganggu’ yang sepintas begitu menggangguku. Ah.
Kususun lagi
ragangan dalam masalah yang belum terpecahkan itu. Gores hitam di atas putih.
Tak puas, aku lanjutkan dengan hipotesis spekulatif bahwa ini terjadi
karenanya! Maka, kucari teori tentang perihal yang dapat buktikan bahwa ialah
penyebab langit temaram di malam hari kemarin, dan lusa yang sangat mengganggu
dengan koyakan dan acakannya.
Argumen seorang ahli terkadang semakin
membingungkan, entah pikirku yang tak sampai atau memang ketinggian susun kata
dan diksinya yang membuat hal sederhana menjadi tambah menjelimet. Aku tertantang.
Tanya itu menghantu di siang bolongku, merongrong di setiap diam dan lamunan.
Aku semakin yakin bahwa ialah penyebab semuanya.
Teorema telah
kukumpulkan seadanya, bukan seadanya, bahkan lebih dari sekadar cukup. Lalu
tesis-tesis kugabung agar menjadi sebuah sintesis yang dus spekulatif adanya.
Misterinya belum juga terungkap, ia semakin mengganggu, kini mulai hadir di
mimpi, dengan senyum elok lima senti!
Benang kesimpulan
tak mungkin kutarik terlalu dini, karena observasi yang belum memadai. Maka
kucari apa sebab aku menjadi begini. Maka hanya ada satu kata sousinya.
Observasi! Kemudian mataku bekerja keras membaca alam dan kehidupan. Mencoba tafsirkan
segala tanda kusaNya dengan minim akal budiku yang tak ada daya.
***
Ternyata aku
masih belum dapat jawab tanya yang kuajukan sendiri. Siapakah penyebab malam
temaram itu dan tiga hari lalu yang
sangat mengganggu dengan koyakan dan acakannya. Aku masih terdiam, dan sesekali
bergidik. Aneh!
Kupandangi lagi
ragangan yang telah kubuat, mungkin raganganku ada yang salah. Entah teori yang
salah, hipotesis yang terlalu kabur, atau data hasil observasiku yang tidak
valid? Maka aku telisik dengan nalarku.
Ternyata benar
saja, aku termakan racun kata si pembuat teorema gila. Sehingga pantaslah bila
tak ada yang sinkron dengan data. Maka kuulang kembali observasi ini. Tujuanku jelas
dan sederhana: kesimpulan!
Berjam-jam
kuhabiskan waktu dengan meihat, mendengar, memandang, mengerenyitkan dahi
sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Kuolah kembali data hasil observasi
kemarin, kuhubungkan dengan beragam teori yang ada, lalu kusisipkan analisis
dasar yang kemudian disambung dengan beberapa argumen serta opini dengan data.
Samar mulai
memudar, ada seberkas cahaya yang tampak suam-suam muncul dari analisisku tadi.
Tapi sayangnya aku leleh, maka kuteruskan esok hari.
***
Aku kembali
mengandalkan inderaku, juga dibantu dengan keyakinan akan kekuatan Tuhan
tentunya. Masih terlalu abstrak bentuknya, namun bukankah abstrak pun sebuah
bentuk? Maka kuteruskan saja, biar labirin bimbang penghalang nalarku pecah
perlahan-lahan.
Berapa cangkir
lagi yang harus kuhabiskan untuk membuktikan hipotesisku? Setidaknya aku agak
jenuh kini. Maka kuputuskan untuk baringkan mata dalam senyap jiwa.
Aku tersentak,
melonjak dari alam khayali menuju meja reot dan cangkir yang kutinggalkan tadi.
Aku tahu jawabnya. Aku kembali mulai menganalisis setiap kata makna dan di
balik makna-makna itu.
Ya, sambil aku
berdiri aku berhasil menemukan kesimpulannya! Ya, sebuah kesimpulan!
Tapi dari
kesimulan itu aku kembali duduk dan muncullah pertanyaan kembali, sampai
akhirnya aku berjalan melewati sebuah langit temaram. Meniti sebuah jalan
setapak yang dari kejauhan tampak begitu suram. Tanpa hiasan bulan yang
tergantung di langit, juga tanpa gemintang dengan kerlipan. Heningnya buat
diksi sunyi menjadi sinonim untuk lukiskan pada malam yang hitam.
Kemarin aku
berjalan melewati sebuah langit temaram. Meniti sebuah jalan setapak yang dari
kejauhan tampak begitu suram. Tanpa hiasan bulan yang tergantung di langit,
juga tanpa gemintang dengan kerlipan. Heningnya buat diksi sunyi menjadi
sinonim untuk lukiskan pada malam yang hitam.
Kemarin lusanya
ada yang mengantung, bergelayut, mengganggu di benak. Mengoyak pikiran dan
mengacak setiap runutan edaran oksigen yang dipompakan jantung. Aku bergidik.
***
Sampai kapan
tanya menjadi kesimpulan, dan kesimpulan menjadi tanya, dan terus
begitu..begitu..begitu...
Aku harus
menyiapkan cangkir lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar